Sabtu, 18 Juni 2011

pak tua dan perjalanan bis kota..

Hidup Sederhanaa..
Gak Punya apa-apa, tapi banyak cinta..
Hidup Bermewah-mewahan
Punya banyak harta, tapi sengsara
Seperti Para Koruptor..
*(Seperti Para Koruptor, Slank, 2008)

Seorang pengamen jalanan melantunkan lagu andalan Slank tersebut diatas bis yang saya tumpangi dalam perjalananku suatu pagi. Disamping saya duduk seorang pria tua dengan uban yang nyaris menutupi seluruh kepalanya nampak benar menikmati lagu itu dengan mengangguk-anggukkan kepalanya mengikuti irama. Bibirnya menyunggingkan senyum.
“Lagunya enak ya dik,” katanya membuka pembicaraan.
Saya mengangguk setuju.
“Iya pak, pokoknya amit-amit deh, jangan sampai kita punya harta banyak tapi malah hidup sengsara,” saya menyahut pelan.
“Bener, dik. Hidup Sederhana, terlebih di zaman krisis finansial global seperti sekarang ini, jadi kunci utama membuat kita tetap bertahan,” jawab bapak tersebut bersemangat.
“Tapi pak, walau hidup sederhana, banyak cinta, namun duit gak ada, tetap aja sengsara lho pak,” kata saya mengadu argumen.
Si Bapak menyunggingkan senyum lebar. Ia menatap saya dalam-dalam.
“Ya..kamu benar. Umumnya memang, banyak yang beranggapan, pangkal kesengsaraan itu ada di duit. Dan kebanyakan orang, secara kasat mata melihat, setiap orang kaya pasti bahagia dan setiap orang miskin pasti sengsara. Tapi kebahagiaan tidak melulu bicara soal duit. Ukurannya ada disini nih,” sahut si Bapak sembari menunjuk dadanya. “Hati”, imbuhnya pelan.
Saya menggigit bibir.
“Jangan bingung dulu, dik. Sekarang saya mau tanya, apakah adik sudah merasa puas dan senang dengan handphone yang dimiliki saat ini? Apakah tidak ada keinginan dihati untuk mendapatkan dan membeli handphone yang lebih baik, lebih canggih, lebih lengkap dari yang ada sekarang? Coba jawab dengan jujur,” kata Bapak tersebut sambil memandang saya penuh selidik.
Dengan kikuk, saya menatap sedih handphone digenggaman. Tak dapat dipungkiri, sudah lama saya mengidap keinginan memiliki handphone generasi terbaru yang pasti memiliki fitur lebih canggih dan lengkap, namun belum ada biaya yang tersedia untuk membelinya hingga saat ini.
“Sejujurnya pak, saya belum puas dan memang, dalam hati, ada keinginan untuk memiliki handphone yang lebih baik dari yang saya miliki sekarang,” sahut saya pelan dan sedikit tersipu.
Bapak itu tersenyum samar.
Ia tak segera menanggapi malah menatap kearah jendela bis. Hiruk pikuk masyarkat sekitar sdng melakukan aktivitasnya masing-masing.
“Kerapkali, kebahagiaan pergi menjauh karena keinginan-keinginan manusia yang berlebihan,” gumam Bapak itu, seperti berkata pada dirinya sendiri.
Saya menatapnya bingung.
Bapak itu menghela nafas panjang, lalu menatap saya lekat.
“Boleh jadi saat ini kamu belum bahagia atau puas memiliki handphone generasi terbaru. Suatu ketika, jika kamu akhirnya memperoleh barang idamanmu itu, kebahagiaan yang akan kamu rasakan hanya sementara. Sesudahnya akan biasa-biasa saja. Tidak ada yang istimewa lagi. Rasa bahagia itu bisa segera hilang dan bahkan mungkin disaat yang sama, akan terbit keinginan baru untuk memperoleh handphone yang lebih bagus lagi dari yang kamu peroleh sekarang. Ini sebuah kebahagiaan semu. Sebentuk kebahagiaan yang disebabkan oleh hal-hal diluar kita. Bukan dari hati,” tutur Bapak itu serius.
Saya menelan ludah.
Bapak itu menghela nafas panjang. Ia melanjutkan kembali.
“Pernahkah kamu membayangkan kebahagiaan itu adalah sebuah situasi tanpa syarat. Tak perlu punya apa-apa untuk menjadi bahagia. Sebuah situasi dimana ketika kamu bisa menyatakan dengan berani, didalam hati, “Walau saya jadi orang termiskin didunia sekalipun, saya akan tetap bahagia”. Kamu tidak menempatkan kebahagiaan itu “diluar” tapi “didalam”. Disini. Dalam hati,” ujar Bapak itu sambil kembali menunjuk dadanya.
Saya tercenung dan terdiam lama. Sungguh kalimat-kalimat Bapak ini menggugah batin saya begitu dalam.
“Tenang, dik. Jangan risau,” kata Bapak itu seraya menepuk pundak saya pelan.
“Saya tidak mengatakan bahwa saya melarang kamu bermimpi dan beli handphone yang lebih bagus dari yang ada sekarang, lho. Monggo, jika ada duit dan kemampuan silahkan beli. Saya hanya ingin mengungkapkan bahwa, tak harus punya apa-apa untuk jadi bahagia. Saat kita mampu mengendalikan keinginan dan senantiasa bersyukur atas apa yang kita miliki, kebahagiaan itu akan datang. Percayalah”.
Bapak itu menatap saya dengan penuh keyakinan. Tak lama kemudian ia menatap kembali kearah luar jendela bis.
“Masalahnya pak, banyak diantara kita-juga mungkin termasuk saya-tidak mampu secara sadar mengendalikan keinginan-keinginan yang datang. Godaannya banyak. Media informasi mengerahkan semua kemampuan yang mereka miliki untuk menggugah dan menggedor-gedor nurani kita untuk bertindak konsumtif. Padahal kenyataanya kita tak punya apa-apa untuk memenuhi semuya itu. Ujung-ujungnya banyak yang malah tidak bahagia dengan apa yang dimiliki”, saya balik menyodorkan argumen, memecah keheningan diantara kami.
Bapak itu tersenyum.
“Itu sudah fitrah kemanusiaan. Wajar kok. Justru disitulah letaknya romantika dan indahnya hidup. Kalau hidup tidak ada tantangannya, malah nggak seru toh?. Kuncinya tentu kembali ke individu masing-masing bagaimana mesti menyikapinya. Sepanjang seseorang, menempatkan kebahagiaan itu “didalam”hati, maka segala godaan konsumerisme tak akan membuatnya goyah. Ia sama sekali tak akan terganggu. Bukankah seperti kata nyanyian Slank tadi, Hidup Sederhana, walau gak punya apa-apa tapi banyak cinta lebih baik ketimbang hidup bermewah-mewahan seperti para koruptor namun malah sengsara?. Sekali lagi, dik..kuncinya itu dihati”, tutur Bapak tadi panjang lebar.
Saya mengangguk-angguk mafhum.
Bis kami sudah memasuki terminal. Tak lama lagi saya akan turun.
“Terimakasih pak, atas nasehatnya yang sangat berharga selama perjalanan kita tadi,” saya menjabat tangan Bapak itu dan tersenyum tulus ke arahnya.
“Sama-sama, dik. Saya yakin kalau kita semua bisa hidup sederhana dan banyak cinta, krisis ekonomi global itu tak akan terasa dampaknya,” sahut Bapak tadi lembut.
Saat berdiri, dorongan penumpang lain yang mau turun membuat saya terdesak keluar kearah pintu bis. Saya belum sempat berkenalan lebih lanjut dengan Bapak tadi. Dari jalan saya hanya sempat melihat lambaian tangannya dari jauh dibalik jendela bis.
Saya melangkah ringan menuju ke bis lain.
Sungguh, saya sangat beruntung mendapatkan guru kehidupan di perjalanan itu..

Sabtu, 04 Juni 2011

Liburan yang mendadak serta singkat..

Inilah cerita selanjutnya dari blog saya.
Saya sangat senang karena saya harus bilang terima kasih,atas segala hal yg nyata atau tidak,telah memberi saya semacam semangat utk menulis lagi di blog ini. Sehingga,jadi berasa mudah dan senang.
Terimakasi kepada siapapun yg sudah memberikan saya support untuk menulis kembali di cerita selanjutnya ini.
Juga kepada Bapak Ronald Reagan beserta keluarga,Bapak Kolonel Haji Moammar Qadafi beserta staf,semoga diberi kesegaran selalu. Bapak Fidel Castro (Halo,bapak). Bapak Presiden Indonesia yang merakyat,karena saya pernah melihat kunjungan beliau ke pasar dan kepelosok desa hanya waktu pemilu saja.
Bapak Javier Perez De Cuellar,mantan sekjen PBB. Bapak Mick Jagger dan kawan-kawan di Inggris, cia you!
Mendiang Bob Dylan yg bagi saya sangat keren sekali. Dan yang terakhir Bapak John Lennon dan ibu Yoko. Semoga diberi ketabahan oleh Allah.
tanpa kasih atas semuanya. tanpa keberadaan Kalian di dunia ini,pasti saya tidak akan pernah mengenal kalian.
Seolah-olah kalian semua bergabung,datang pada masa muda saya,utk memberi tahu bahwa benar kiranya: "tidak ada yg selamanya kekal selain apa yang sudah dilakukan".

Dan yang intinya saya akan bercerita tentang kepulangan kekampung halaman tercinta yang mendadak serta sangat singkat ini.
Mungkin saya tidak ingin banyak bercakap diblog sayakali ini tapi saya hanya memberikan gambar foto saja.












                          "luar biasanya! rock n roll mom.."


















Semoga bisa terulang kembali liburan seperti ini,walaupun singkat namun sangat terkenang..
sekian! :))